Sunday, June 18, 2006

Waham `Kesolehan', Waham `Kekasih Allah', Waham `Pembimbing Spiritual'

Dipetik dari email group RABITHAH.

Waham `Kesolehan', Waham `Kekasih Allah', Waham `Pembimbing Spiritual'
http://suluk.blogsome.com

Sahabat sekalian,

Umumnya dari kita mencari jalan menuju Tuhan dengan membawa kriteria
kita sendiri. Seorang mursyid haruslah berwajah cerah, berseri, tampak
simpatik, dan sebagainya. Kita membawa waham kita sendiri dalam
mencari pembimbing. Mungkin penampilannya berjubah dan berjanggut,
atau apapun lah, yang biasa kita asosiasikan dengan penampilan seorang
'soleh'.

Sahabat, jika sekarang, misalkan di pasar dekat rumah kita, ada
seorang yang penuh penyakit kulit. Kemana-mana dirubungi lalat dan
belatung. Ia tinggal di gubuk sebagai seorang gelandangan. Jika ia
mengatakan bahwa ia membawa risalah Allah, maukah kita mengikutinya?
Mungkin tidak, karena penampilannya sangat jauh dari 'soleh'.

Jika tetangga kita sekarang, di RT sebelah misalkan, seorang yang
dikucilkan oleh masyarakat. Di atap rumahnya membangun perahu, dan
setiap hari kerjanya berteriak-teriak bahwa 6 bulan lagi akan banjir.
Setiap hari ia menjadi bahan ejekan masyarakat dan tetangga anda.
Akankah kita mengikutinya? Atau ikut menertawakan?

Jika di negara kita ada seorang panglima berusia 20-an tahun, yang
mengatakan bahwa dia membawa perintah Tuhan untuk menyebarkan
risalahnya, sementara dia senantiasa memimpin pasukannya ke negara
tetangga dengan membantai, menyiksa, atau mengampuni dan memaafkan,
benar-benar sesuka hatinya. Akankah kita mengikutinya?

Seorang tua yang hidup di tepian padang gersang, menggembala
kambing-kambingnya. Setiap hari hanyalah beternak, dan menimba sumur
untuk ternaknya. Hidup di gubuk, jauh dari kota. Miskin, tua renta.
Tidak punya apapun yang bisa ditawarkan. Jika ia mengatakan bahwa ia
bisa membimbing anda menuju Allah, apakah anda mau menjadi muridnya?

Seorang anak muda antisosial yang jarang bergaul, kerjanya merenung.
Alim, tapi pendiam. Sering pergi memencilkan diri ke pinggir kota.
Anak muda itu secara sensasional tiba-tiba menikahi janda tua yang
sangat kaya, dan ia pun mendadak menjadi kaya raya pula karenanya.
Lalu ia mengatakan bahwa ia telah bertemu malaikat, dan mengatakan
bahwa anda harus mengikutinya. Ikutkah anda?

Seorang gelandangan, pakaiannya bau dan kotor. Setiap hari hanya
meniup seruling dan bermain catur di pojok pasar. Hanya kadang ia
membantu membersihkan mesjid supaya boleh tidur di dalamnya. Maukah
anda mengangkatnya sebagai pembimbing spiritual?

Seorang muda tampan, berpenampilan soleh, bersih dan alim, sangat
ukhrawi, miskinnya luar biasa, hartanya hanya cangkir dan pakaian yang
melekat di tubuhnya. Tapi ia amat sangat dekat dengan seorang pelacur
dan selalu membelanya mati-matian dari cemoohan masyarakat. Percayakah
anda padanya, jika dia mengatakan bahwa ia adalah seorang nabi?
*******

Tahukah anda, bahwa kakek berpenyakit kulit, bau dan penuh belatung
yang hidup di pinggir pasar tadi seperti Nabi Ayyub as pada zamannya?
Tetangga yang membangun perahu di atap rumahnya, ditertawakan dan
dibodoh-bodohi masyarakat, posisinya adalah seperti Nuh as pada
zamannya dahulu.

Panglima 20-an tahun yang sesuka hatinya membantai atau menyiksa, juga
mengampuni dan memaafkan, adalah Iskandar Zulqarnayn, seorang yang
menyebarkan kebenaran di sepanjang asia, timur tengah hingga eropa. Ia
dibebaskan Allah untuk menyiksa ataupun mengampuni sesukanya,
sebagaimana diabadikan dalam QS 18:86,

"..Hai Dzulqarnayn, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat
kebaikan terhadap mereka."

Orang tua miskin di gurun adalah Syu'aib as, mursyid dari salah satu
nabi terbesar, Musa as, nabi agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Anak
muda antisosial, yang pendiam dan kaya mendadak karena menikahi janda
tua yang kaya kemudian mengaku bertemu malaikat, adalah Rasulullah
SAW. Gelandangan bau dan kotor, yang hanya membawa-bawa seruling dan
`nongkrong' di pasar, adalah Shamsuddin Tabriz, mursyid dari wali
besar Jalaluddin Rumi. Anak muda soleh dan tampan, sangat ukhrawi yang
dekat dengan seorang pelacur adalah Nabi Isa as, dan pelacur itu
adalah Maria Magdalena.

Coba posisikan diri kita sebagai masyarakat yang ada pada zaman
mereka. Mampukah kita melihat kebenaran yang mereka bawa? Percayakah
kita, jika kita hidup di zaman itu, bahwa mereka adalah para kekasih
Allah, yang bisa menunjukkan pada kita ruas jalan taubat? Akankah kita
mengikuti mereka?

Siapakah kita, yang berani menentukan kriteria kekasih Allah? Dia
berhak menyukai siapa saja, sesuka-Nya. Mengatur para kekasihNya
berpenampilan seperti kehendakNya. Kenapa kita berani mengatur,
apalagi dengan standar yang kita buat sendiri, bahwa seorang kekasih
Allah pastilah berseri-seri, ramah, selalu tersenyum? Berjubah, atau
berjanggut? Pasti hidupnya berhasil secara duniawi maupun ukhrawi?
Alangkah sombongnya kita.

Kita sendirilah yang menciptakan penghalang, filter yang kita
`bikin-bikin', sehingga justru menutup kita dari jalan kebenaran. Kita
menciptakan `waham kesolehan' sendiri. Waham, ilusi, yang justru dapat
menjauhkan kita dari gerbang-Nya. Kita telah tertipu oleh 'standar
jaminan mutu kesolehan' yang dibangun dunia ini.

Belum tentu seorang yang mampu menuntun kita menuju Allah, sesuai
dengan kriteria yang kita buat sendiri. Belum tentu. Memang ada para
kekasihnya yang berpenampilan seperti yang kita golongkan sebagai
`yang baik-baik', tapi ada pula yang sama sekali tidak demikian.
Mereka disamarkan-Nya (tasyrif) karena dilindungi Allah. Dilindungi
dari para peminta berkah, dari orang-orang yang sedikit sedikit
meminta tolong dan bantuan, minta dagangannya laku, minta didoakan
supaya dapat jodoh, minta sakitnya disembuhkan, diobati saudaranya
yang kesurupan, konsultasi posisi politik, dan segala permintaan tetek
bengek lain yang sifatnya `menghilangkan derita' saja, bukan minta
dibimbing menuju Allah. Bukan minta diajarkan bertaubat.

Jika semua dibuka dengan mudahnya, bayangkan berapa orang yang datang
mengantri setiap saat dengan tujuan tak jelas? Tanpa biaya pula.

Allah pun, dari 99 namanya, terbagi menjadi dua jenis. Yang `Jamal',
yang `ramah', yang indah, yang enak kedengarannya. Contohnya adalah
Maha Penyayang, Maha pengampun, Maha sabar, dan semacamnya. Tapi Dia
juga memiliki nama-nama yang `jalal', yang `agung', yang keras, yang
menyeramkan, seperti Maha Pedih Siksanya, Yang Maha Membalaskan
Dendam, Yang Maha Keras, Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Menghinakan,
Yang Maha Memaksa, dan sebagainya.

Setiap makhluk membawa potensi kombinasi dari 99 nama-namaNya,
termasuk pula para kekasihNya. Mengapa kita melabelkan pada diri kita
sendiri bahwa `Kekasih Allah pastilah ramah, enak, baik, wangi,
bersih, bla-bla-bla?' Ada yang demikian, ada pula yang tidak.

Perhatikan Qur'an 25:20,

"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka
sungguh-sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar."

Seharusnya ini cukup.

Sedangkan manusia terkadang sombong, merasa perlu malaikat atau
mu'jizat untuk meyakinkan dirinya. Mereka menolak rasul yang `wajar'.
Inginnya yang `malaikati' atau `mukjizati'. Padahal jika dia tidak
mengikuti pun, kemuliaan Allah sama sekali tidak akan berkurang. Allah
tidak rugi apapun.

Pada QS 25:7,

"Dan mereka berkata, `Mengapa Rasul ini memakan makanan dan
berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang
malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?"

Pada hadits Muslim 1972 (8: 154):

"Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda,
"Banyak sekali orang yang kelihatannya compang-camping (hina di mata
masyarakat), tidak diperkenankan memasuki pintu seseorang, tetapi
kalau dia berdoa kepada Allah, niscaya Allah akan mengablkan doanya."
(H. R. Muslim)

*******

Ciri utama dari seorang yang harus anda ikuti bukanlah senyumnya,
wajahnya yang bersih, dan sebagainya. Mantan presiden kita yang dulu
pun wajahnya bersih dan penuh senyum. Fir'aun pun sangat gagah dan
tampan. Iblis pun, apakah akan datang ke kita selalu bertanduk,
berpakaian api, membawa tombak trisula dan berekor panah? Dia tidak
sebodoh itu. Jika penampilannya monoton dan tidak kreatif seperti itu,
tentu saja kita akan dengan sangat mudah mengetahui bahwa dia adalah
iblis, dan tidak untuk diikuti.

Syarat dan ciri utama seorang yang harus diikuti sudah dicantumkan
dalam Qur'an, yaitu Q.S. 36:21,

"Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah `muhtaduun' "

Apakah `Muhtaduun'? Muhtadun, asal katanya dari huda, yang berarti
`petunjuk (dari Allah)'. Al-Muhtaduun adalah mereka yang sudah
ditetapkan-Nya melangkah hanya di atas petunjuk-Nya saja.

Jadi, ciri pertama adalah, tidak pernah minta balasan apapun, baik
pertolongan, status sosial, kerjasama manajemen, saling membantu, dan
lain-lain. Dia yang bisa membantu kita, dan kita tidak bisa
membantunya sama sekali. Dia sudah tidak membutuhkan apapun.

Yang kedua, orang itu sudah `tetap di atas petunjuk'. Dia membimbing
anda murni seratus persen berdasarkan petunjuk Allah yang datang ke
qalbnya, bukan berdasarkan pendapat, teori pendidikan, EQ, AQ,
Acceleration Learning, kebiasaan umum, budaya, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, coret juga orang yang belum mampu mendapat petunjuk
Allah setiap saat di dalam qalb-nya.

Beberapa rambu Al-Qur'an yang perlu kita cermati juga:

"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka. (QS. 14:4)"

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat
(untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut. (QS.
16:36)"

Perhatikanlah, bahwa pada dasarnya tiap-tiap ummat ada Rasulnya
(penyampai risalah, pengajak menuju Allah). Dan, dengan bahasa kaumnya
pula.
*******

Sahabat, banyak orang yang mengaku mursyid, merasa mursyid, atau
dianggap mursyid. Tapi yang teramat sulit adalah mencari mursyid yang
sesungguhnya, yang tugas kelahirannya memang sebagai seorang mursyid.
Kita harus setiap saat memohon untuk diantarkannya ke 'seorang
pemimpin yang dapat memberi petunjuk/wali mursyid', sebagaimana QS 18:
17 menyebutkan,

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tak
akan mendapatkan `Waliyyan Mursyida' (seorang pemimpin yang dapat
memberi petunjuk)."

Kita harus setiap saat memohon untuk ditunjuki-Nya kepada seorang
`Waliyyan Mursyida' ini.

Namun demikian, banyak orang yang ingin bertemu mereka, tapi setelah
bertemu mereka justru berbondong-bondong berlari meninggalkannya.
Kenapa? Karena bersama seorang mursyid memang tidak mudah. Dia akan
memotong semua jalur-jalur perbudakan syahwat dan hawa nafsu pada diri
kita. Dia akan mengajari dan memaksa kita untuk berani mengenal,
mempelajari dan menguasai semua jenis hawa nasfu dan syahwat yang ada
dalam diri kita sendiri. Dia akan memaksa kita untuk murni bergantung
pada Allah, bahkan bukan bergantung pada dirinya sebagai mursyid. Itu
adalah tugasnya.

Karena dengan terkuasainya seluruh balatentara syahwat dan hawa nafsu
kita, maka kalbu kita akan semakin bening, dan kita pun pada akhirnya
akan mampu mendapatkan petunjuk dari qalb kita sendiri.

Memang dia akan menolong kita jika `terjepit' dalam kehidupan,
menjelaskan persoalan dengan gamblang, tapi bukan berarti memanjakan
terus menerus. Dia tidak akan mendidik kita untuk menjadi orang yang
tidak mau menghadapi persoalan, sedikit-sedikit menangis minta tolong
pada mursyidnya. Dia akan memaksa kita untuk berani menghadapi
persoalan, karena dengan demikian kita akan mengenal segala kekurangan
diri yang perlu diperbaiki, mengenal dan menyempurnakan kelebihan diri
yang ada, menghadapi semua hawa nafsu dan syahwat (misalnya: rasa
takut, cemas, inferior, bangga, sombong, iri, minder, tidak percaya
diri, dan sebagainya) demi untuk mengenal segala aspek dalam diri kita
sendiri ('arafa nafsahu), supaya kelak kita bisa mengenal Rabb kita
('arafa rabbahu).

Maka dari itu, bermursyid bukan seperti datang ke pengajian sekali
seminggu. Menghilangkan kepenatan dan kemumetan, mencari kesejukan
sesaat, buka dan sekedar menghafal Al-Qur'an, setelah lega kembali ke
kehidupan masing-masing. Bukan pula untuk berorganisasi, berharap
dapat mengembangkan potensi diri demi karir di sana. Juga bukan
seperti dukun, minta doa supaya sukses, minta amalan, dan semacam
itulah. Bukan juga datang ke sana untuk bersosialisasi, mencari
kelompok maupun kegiatan saja.

Bermursyid itu, bukan pula seperti ke pasar. Ingin membeli pencerahan,
ingin membeli keajaiban, ingin membeli maqom ataupun pencapaian
spiritual. Tapi begitu malam tiba, semua pembeli pergi ke rumah
masing-masing dan kembali kepada kenyamanan tempat tidurnya di rumah,
lupa pada perjuangan penyucian diri.

Demikian pula, jangan bermursyid pada orang yang mengangkat kita
sebagai murid karena kita memiliki `potensi' manfaat untuk dirinya,
bisnisnya, partai politiknya, maupun organisasinya. Ini guru yang
`berbisnis', karena orang seperti ini, jika ia ingin susu maka ia akan
mencari sapi untuk dipelihara.

Hubungan dengan mursyid itu tidak mudah, karena konsekuensinya adalah,
setiap saat dimanapun kita berada, kita dituntut untuk bertaubat dan
memperbaiki diri, sesuai Q.S. 5:39, bahwa Allah hanya menerima taubat
dari orang-orang yang taubatnya dilanjutkan dengan memperbaiki dirinya.

"Dan barangsiapa bertaubat setelah melakukan kejahatan (menzalimi
dirinya) dan kemudian memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha
Penyayang." (Q.S. [5] : 39)

Sekali lagi, inilah rambu utama dari Al-Qur'an yang harus kita ikuti:

"Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah `muhtaduun' (orang yang tetap diatas petunjuk)" Q.S. 36:21.

[HM]

2 comments:

Anonymous 7:28 PM

Kemarin saya sudah mampir kok... :) tentang gelas dan danau, silahkan saja.. jangan lupa linknya yaa

Wass.

~albazrah~ 2:33 PM

Adik, macamana kita boleh ter sama2 ke blog herry... Kak teh pun termasuk ke blog dia...dan kak teh dah buat link. Ada aura ka...?

~kak teh~

  © Blogger template 'Solitude' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP