Sunday, December 17, 2006

Seorang musuh islam menjadi ulamak terkenal

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa
hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal
bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo
penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot
keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah
mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseoran
mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.


"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya
sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan
tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang.
Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar
cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput
hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan
seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh
ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering
milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka...
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
"Bersabarlah wahai ustaz...InsyaALlah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, 'algojo
penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara
untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga
terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?!
Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua
dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan
Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang
seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan
kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto
dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

"Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai
kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan
karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia
busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di
wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara
dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang
telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya.
Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya
erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci
ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain,
akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars
seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz
yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak
demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar
gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas
lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah
hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya
baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo
itu termenung.

"Ah...seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah
mengenal buku ini."

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama
itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat
tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan
seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas
terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.
Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang
dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda
itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar
di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang
mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di
Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung
pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada
tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup
angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan
berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam
dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki
agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun,
malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap.
Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu
melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.
Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi
yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan
suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi
telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....?
Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab
ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat. Untuk
pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil
bapaknya, "Abi...Abi... Abi..." Namun ia segera terhenti berteriak memanggil
sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari
rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak
tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawabnya memohon belas
kasih. "Hah...siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari
mereka. "Saya Ahmad Izzah..." dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba
"Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai
budak...! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar
namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas!
Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu
itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu."

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya
menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi.
Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang
tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh
sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan
sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria, "Abi...Abi... Abi..." Ia pun
menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut
dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam
genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu
sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat
betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak
sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya
yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan
menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..." Hanya sebatas kata itu
yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang
membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang
tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan
yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara
Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya.
Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun,
ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh
tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke
Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh
Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah
selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal
kalimah indah "Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu
anna Muhammad Rasullullah. ..'. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan
tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya
dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda
sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru
dengannya..."

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy
--
KU SAMPAI KAN WALAU SEBARIS AYAT

Kredit: dicopy paste dari ISLAH-Net

2 comments:

Anonymous 9:47 AM

seram sejuk, meremang bulu roma baca cerita ni.

amni 12:11 PM

sejuk pakai selimut.. heheheheh... :D

  © Blogger template 'Solitude' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP